June 9, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan



Buton

Sekitar akhir abad ke18, terdapat beberapa kerajaan kecil di kawasan Sulawesi Tenggara. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Buton, Konawe-Laiwui, dan Mekongga. Sejak tahun 1613, VOC sudah mengadakan hubungan dan perjanjian dengan Kerajaan Buton. Perjanjian antara VOC dengan Buton ini berisi ketentuan tentang bantuan yang diberikan Buton kepada VOC jika sewaktu-waktu diperlukan.


Ketentuan lainnya dalah peraturan pelayaran dan perdagangan, persetujuan VOC jika ada pengangkatan raja Buton yang baru, dan kawan dan lawan VOC adalah kawan dan lawan Buton juga. Selain itu, Buton dilarang berdagang dengan pedagang lain selain Belanda, dan pemberian ganti rugi oleh pihak VOC atas penebangan pala dan cengkeh di wilayah Buton.

Kesultanan Buton mencapai masa kejayaannya ketika pemerintahan Sultan Muhammad Idrus. Sultan ini memerintah dari tahun 1824 hingga 1850. Kekuasaan Buton ketika itu mencakup wilayah Pulau Buton, Muna, Kabaena, Tukangbesi, Poleang, Rumbia, serta pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton dan Muna. Sistem pemerintahan Buton dibagi lagi menjadi tiga wilayah, yakni wilayah inti, moronene, dan barata. Wilayah inti dipecah lagi menjadi dua, yakni wilayah bonto yang diperintah oleh kadie, dan wilayah bobato yang diperintah oleh lakina.

Daerah moronene merupakan daerah yang diperintah langsung oleh adat, namun tak langsung berada dalam sistem pemerintahan. Sedangkan, daerah barata (berarti perahu atau cadik) merupakan wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan Kerajaan. Dalam Kesultanan Buton, terdapat empat barata, yaitu Muna, Tiworo, Kalingsusu, dan Kaledupa.

Berbeda dengan Buton, Kerajaan Konawe-Laiwui dan Kerajaan Mekongga tidak pernah berhubungan dan membuat perjanjian dengan pihak VOC. Wilayah Konawe-Laiwui kini termasuk daerah Kabupaten Kendari, sedangkan wilayah Mekongga termasuk Kabupaten Kolaka. Dua kerajaan ini merupakan kerajaan merdeka. Namun, pada pertengahan abad ke-19 dua kerajaan ini akhirnya menandatangani perjanjian dengan pihak Belanda.

Belanda mulai menguasai Sulawesi Tenggara sejak diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Sultan Buton pada 1873, dengan Raja Konawe-Laiwui pada tahun 1858 dan 1885, serta dengan Datu Luwu yang dianggap penguasa Mekongga pada tahun 1861 dan 1887. Isi perjanjian-perjanjian ini sangat merugikan ketiga kerajaan karena kini ketiga wilayah tersebut termasuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Meskipun demikian, nyatanya baru pada tahun 1906 angkatan perang Hindia Belanda mulai ditempatkan di wilayah Buton. Belanda pun menangkap sejumlah pemuka dan pembesar pribumi yang berkuasa. Belanda berkuasa hingga tahun 1942 setelah tentara Jepang menginjakkan kaki di Kendari pada tanggal 16 Januari 1942.

0 komentar:

Post a Comment