June 16, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan





Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Thomas Stanford Raffles: Land Rente System (1811-1816)

Perluasan kekuasan Perancis pasca Revolusi Perancis mendorong Inggris menduduki kembali koloni Belanda. Tanjung Harapan berhasil diduduki Inggris pada 1806, disusul Maluku pada 1810. Di bawah pimpinan Lord Minto, armada Inggris menyerang Batavia sehingga Gubernur Jenderal VOC, Jan Willem Janssens yang baru saja menggantikan Daendels tahun 1811, terpaksa mengungsi ke Semarang. Janssens terpaksa menandatangani surat perjanjian pada 18 September 1811.


Perjanjian atau kapitulasi tersebut berisi penyerahan tanpa syarat semua koloni Belanda. Kerajaan Inggris lalu mengangkat Thomas Stanford Raffles sebagai letnan gubernur untuk wilayah koloni VOC. Ia berkuasa dari tahun 1811 hingga 1816. Selanjutnya Raffles mengirim para pejabat Inggris ke berbagai wlayah untuk mengambil alih pemerintahan.

Untuk Makassar dan Daerah Taklukannya dikirim Richard Phillips yang memerintah pada 1812-1814. Setelah itu residen Makassar yang baru, Richard Phillpis, membuka Makassar untuk semua pedagang dari kolonikoloni bangsa Eropa lainnya. Philips berusaha menyejahterakan rakyat Makassar, misalnya dengan menghapus dan meringankan pajak gerobak angkutan dan kuda beban serta mengurangi pajak candu menjadi lima persen dari nilai jual.

Memang, Raffles dalam masa pemerintahannya ingin menerapkan pemerintahan yang bersifat liberal seperti yang dilakukan Inggris di India yang berdasarkan pada sistem yang dikenal dengan istilah Land Rente System (Sistem Sewa Tanah). Dia menginginkan kebijakan yang dilaksanakan tidak bersifat paksaan. Oleh karena itu Raffles menghapuskan sistem kerja rodi, menghapuskan Pelayaran Hongi di Maluku, pengawasan tanah langsung oleh pemerintah dan hasilnya langsung dipungut oleh pemerintah tanpa melalui perantara bupati, dan penyewaan tanah dibeberapa daerah berdasarkan kontrak dan terbatas waktunya.

Sistem sewa tanah ini tidak diberlakukan di Batavia dan Priangan, karena di daerah-daerah sekitar Batavia umumnya adalah milik swasta, sedangkan Priangan merupakan daerah wajib penanaman kopi yang memberi keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial. Sistem sewa tanah ini tidak berhasil dengan baik, karena perubahan sistem ini tidak dibarengi dengan perubahan mental dan kultur dari unsur-unsur pemerintahan yang umumnya masih hidup dalam alam tradisional dan feodalisme. Ditambah dengan tidak tersedianya tenaga-tenaga yang terlatih dan berpengalaman.

Dengan politik sewa tanahnya yang diilhami dari pengaruh paham liberal, rakyat Indonesia belum paham sepenuhya dengan system ekonomi uang. Oleh karena itu, Sistem Sewa Tanah dianggap mengalami kegagalan, karena rakyat masih terbiasa dengan system ekonomi tertutup, di mana pembayaran pajak belum sepenuhnya
dengan uang tetapi in natura atau barter. Faktor utama lainnya yang dianggap sebagai biang kegagalan liberalisasi ekonomi adalah masih kuatnya praktik budaya feodalisme di Indonesia.

Pemerintahan Raffles di Indonesia hanya berlangsung lima tahun. Perubahan politik di Eropa mengakhiri pemerintahannya. Pada 1814 Napoleon Bonaparte menyerah kepada Inggris dan sekutunya. Menurut Perjanjian London, status Indonesia kemudian kembali pada masa sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.

Isi Perjanjian London tahun 1816

1. Pemerintah Inggris menyerahkan kembali tanah jajahannya kepada Belanda sebagaimana yang disepakati dalam Kapitulasi Tuntang.

2. Inggris mendapat kan Sailan dan Tanjung Harapan dari Belanda sebagai imbalan mempertahankan daerah itu dari serangan Prancis.


0 komentar:

Post a Comment