May 26, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan ysang diedit Social Science



Majapahit

Kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir dan terbesar di Jawa adalah Majapahit. Kerajaan ini terletak di sekitar Sungai Brantas, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, sekitar tahun 1293 M. Setelah berhasil lolos dari maut penyerangan Kediri, ia bersama para bangsawan Singasari lain yang setia seperti Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang, kemudian meminta bantuan kepada Arya Wiraraja, yang sebelumnya adalah pejabat Singasari yang oleh Kertanegara dijadikan bupati di Sumenep, Madura. Atas anjuran Aria Wiraraja, Bupati Sumenep, Wijaya disarankan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja pula Wijaya diterima di Kediri.


Raden Wijaya oleh Jayakatwang diperbolehkan membuka sebuah hutan untuk dijadikan desa baru, yakni Tarik. Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi desa tempat membinan kekuatan militer oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri. Kemudian hutan Tarik ini dinamai Majapahit. Sejarah Majapahit ini dapat diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, Negarakretagama karangan Prapanca, berita Cina Ying−Yai Sheng Lan, serta Prasasti Kudadu.

Dua tahun setelah pemberian hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara Kubilai Khan dari Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang telah memotong telinga utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini member kesempatan kepada Raden Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang.

Melalui muslihat yang cerdik, Wijaya lalu mengajak pasukan Mongol yang baru mendarat di Tuban. Pasukan Mongol yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan mudah diliciki oleh Wijaya bahwa Kediri seolah-olah adalah Singasari dan Jayakatwang adalah Kertanegara. Pasukan Mongol mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu terjadilah peristiwa yang diharapkan oleh Wijaya: pasukan Mongol kemudian menyerang Kediri dan merebutnya. Pasukan Wijaya pun bergabung dengan tentara Kubilai Khan dalam menghancurkan Kediri dan Jayakatwang.

Dalam penyerangan ini Jayakatwang tewas terbunuh. Raden Wijaya kemudian berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara Kubilai Khan ini kembali ke negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Majapahit.

Raja−raja yang memerintah Majapahit di antaranya: Raden Wijaya (1293−1309), Sri Jayanegara (1309−1328), Tribhuwanatunggadewi (1328−1350), Hayam Wuruk (1350−1389), dan Wikramawardhana (1389−1429). Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya bergelar Kertajasa Jayawardhana. Gelar Kertarajasa dipakai karena Raden Wijaya masih keturunan Ken Arok. Raden Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri (Rajapatni). Selain keempat putrid Kertanegara, Wijaya juga mengawini Dara Petak, putri boyongan dari Melayu. Raden Wijaya memerintah dengan bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi aman dan tenteram. 

Raden Wijaya tidak lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan Majapahit. Aria Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di daerah Lumajang dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora diangkat sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan Majapahit. Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan Majapahit.

Pada masa Raden Wijaya sempat terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh sahabat−sahabat dekat raja yang merasa tidak puas dengan jabatannya, di antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan Ranggalawe. Namun pemberontakan−pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Simping di Blitar sebagai Siwa dan Wisnu serta di Antapura sebagai Buddha.

Sepeninggal Raden Wijaya pemerintahan di pegang olehputeranya yang bernama Kala Gemet yang bergelar Sri Jayanegara. Tidak seperti ayahnya, Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Oleh karena itu, banyak pembantunya merasa tidak puas dan melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang dilakukan Juru Demung (1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319). Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai patih Kahuriapn (1319−1321) dan patih Kediri (1322−1330).

Pada 1328, Jayanegara meninggal. Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak memiliki anak. Oleh karena itu, kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri Kertanegara dan janda Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena lebih memilih sebagai biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwanatunggadewi. Tribhuwanatunggadewi memerintah Majapahit bersama suaminya yang bernama Kertawardhana. Menurut Negarakertagama disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ini sering terjadi pemberontakan. 

Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara pelantikan sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak akan berhenti sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panjipanji Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan “Sumpah Amukti Palapa”. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Gajah Mada membangun armada laut yang kuat di bawah pimpinan Laksamana Nala.

Pada 1343, dengan bantuan Adityawarman, Gajah Mada berhasil menaklukan Bali. Adityawarman kemudian diangkat sebagai penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan Gajah Mada menguasai Sriwijaya, Tumasik, dan semenanjung Melayu di wilayah barat. Seram, Guam, dan Dompu di wilayah timur juga berhasil dikuasainya.

Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Ketika itu, Hayam Wuruk berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai Mahapatih. Hayam Wuruk bergelar Rajasa Negara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama dijelaskan bahwa pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah yang belum dapat dikuasai Majapahit adalah Pajajaran.

Pada 1364, Gajah Mada wafat setelah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada 1389, Hayam Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit berangsur−angsur mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota dari permaisuri. Oleh karena itu, putrinya yang bernama Kusumawardhani diangkat sebagai penguasa Majapahit bersama suaminya yang bernama Wikramawardhana. Sebenarnya Hayam Wuruk memiliki seorang putra yang bernama Bhre Wirabhumi dari selirnya. 

Untuk menghindari pertikaian, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di daerah Blambangan, ujung timur di Pulau Jawa. Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang saudara antara kedua anak Hayam Wuruk ini. Pengangkatan Kusumawardhani sebagai penguasa Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi. Rasa tidak senang ini kemudian berkembang menjadi perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401−1406). Dalam Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh. Perang berkepanjangan ini membuat Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang serta jumlah korban yang demikian besar membuat Majapahit tidak bisa mempertahankan keutuhan wilayah. 

Akhirnya, setelah Wikramawardhana meninggal, Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Raja−rajanya antara lain: Suhita (1429−1447), Kertawijaya
(1447−1451), Rajasawardhana (1451−1453), Purwa Wisesa (1451−1466), Sunghawikrama Wardhana (1466−1447). Keruntuhan Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno Ilang Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M. Di samping perang saudara yang berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit adalah semakin berkembangnya pengaruh Islam di Nusantara, terutama di daerah−daerah pantai Jawa, seperti Gresik, Giri, dan Demak. 

Daerah−daerah ini kemudian melepaskan diri dari Majapahit. Keadaan ekonomi Majapahit yang buruj pun turut menyebabkan keruntuhan Majapahit. Pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengurus wilayah kekuasaannya yang demikian luas. Oleh karena itu, banyak daerah yang kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan diri dari Majapahit.

Akan tetapi, adapula pendapat bahwa Majapahit (yang kekuasaannya tinggal seluas ibukotanya sendiri) benar-benar runtuh setelah ibukota kerajaan tersebut diserang oleh sejumlah santri-santri muslim dari Kudus yang dibantu oleh Raden Patah dari Demak. Mereka ingin menghancurkan kerajaan non-Islam pada 1527 M. Ibukota Majapahit tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo. Patah merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari Campa, Cina bagian selatan (Vietnam).

Pada masa Majapahit, sistem ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewa sapta prabu adalah para sanak saudara raja. Urusan keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa ring kasiwan untuk urusan agama Hindu dan dharmadhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha.



Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Majapahit


Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.

Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun, aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan Negara tetangga, di antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari (Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara−negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata.

Disebutkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau Purusadashanta yang berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” yang artinya: “di antara pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang mendua.”

Rakyat Majapahit terbagi dalam kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Ini bisa kita simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan antara lain rempah−rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana. Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah Hujung Galuh, Tuban, dan Gresik.

Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. hal ini bisa dilihat dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah−daerah yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain.

Perkembangan perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun penguasa Majapahit dengan kerajaan−kerajaan tetangga. Barang−barang dari luar negeri dapat dipasarkan di pelabuhan−pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang−barang Majapahit dapat diperdagangkan di negara−negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan perekonomian Majapahit.

Dalam hal kepemilikan tanah, di Majapahit sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawah.


0 komentar:

Post a Comment