May 27, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan



Sejumlah Kronik Luar Negeri dan Sumber Lokal tentang Keberadaan Masyarakat Islam Awal di Indonesia

a. Kronik-kronik Luar Negeri

Sejak abad ke-5 M, pedagang Arab telah menjalin kontak dengan pedagang dari Cina. Rute dagang bahari pedagang Cina-Arab ini tentunya melintasi perairan Indonesia. Karena itu, orang-orang Arab dipastikan telah mengenal masyarakat Indonesia sejak abad ke-5, yang ketika itu agama Islam pun belum lahir.


Selanjutnya pada abad ke-7 M, para pedagang Islam dari Persia dan India telah melakukan kontak dagang di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Aktifitas dagang ini semakin ramai sejak Dinasti Umayyah berkuasa. Perdagangan dilakukan oleh Bani Umayyah dengan Dinasti Tang melalui Selat Malaka. Informasi sejarah ini tersiar dari kronik Cina masa Dinasti Tang yang melaporkan perdagangan antara Cina dan Asia Barat.

Perdagangan itu melibatkan Indonesia karena kawasan ini dilalui pedagang Asia Barat sebelum dan sepulang dari Cina. Antara abad ke-7 dan 8 M sudah terdapat pemukiman muslim di Baros di pantai barat laut Sumatera, di pesisir utara Jawa, Maluku, dan Kanton di Cina Selatan.

Masih menurut berita Cina bahwa pada tahun 977 M, sebuah kerajaan Islam di Indonesia telah mengirim utusannya ke negeri Cina. Kerajaan ini bernama Poni, utusannya bernama Pu Ali. Hingga sekarang data-data lain tentang keberadaan Kerajaan Poni ini belum ditemukan. Pada 1281 Kerajaan Melayu-Jambi mengirim utusan ke Cina dengan dua utusan yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin—keduanya nama Islam.

Tulisan pada nisan di Leheran, Gresik, berupa huruf Arab, memberitakan wafatnya wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang bertanggal 1082 M (ada juga yang berpendapat 1181 M). Pemakaman muslim kuno di Trowulan membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang memeluk Islam sejak masa Hayam Wuruk. Catatan Ma-Huan memberitakan bahwa pada awal abad ke-15 sebagian masyarakat di pantai utara Jawa (mungkin kotakota pelabuhan seperti Tuban, Sedayu, dan Gresik) telah memeluk Islam.

Pelayaran kapal dagang dari Asia Barat ke Indonesia cukup bergantung kepada angin musim. Karena harus menunggu pergantian angin musim tersebut, para pedagang muslim akhirnya menetap cukup lama di sejumlah bandar di Indonesia. Selama singgah itulah terjalinlah interaksi sosial. Bandar-bandar dagang Indonesia yang penting berada di sekitar Selat Malaka dan pantai utara Laut Jawa. Komoditas yang diperdagangkan berupa hasil hutan, pertanian, dan kerajinan. Pedagang muslim yang turut andil dalam perdagangan terutama berasal dari Gujarat, di utara Bombay. Singgahnya para pedagang dalam waktu yang relative lama, mengakibatkan berdirinya sejumlah pemukiman para pedagang muslim.

Berdirinya pemukiman-pemukiman itu membuka jalinan sosial antara pedagang muslim dengan penduduk pribumi. Interaksi itu berawal dari lingkup ekonomi lalu ke lingkup sosial, budaya, agama, dan politik. Dalam proses inilah penduduk Indonesia mengenali ajaran Islam. Pengenalan nilai-nilai Islam juga melibatkan peran mubalig yang ikut serta bersama para pedagang muslim. Mereka mendirikan pesantren dan masjid dalam pengenalan ajaran Islam lebih mendalam. Pengenalan itu tidak hanya dilakukan melalui dakwah, melainkan juga dengan perilaku terpuji.

Berita Cina memberitakan bahwa pada akhir abad ke-13 M, kerajaan kecil bernama “Sa-mu-ta-la” (Samudera) mengutus dutanya ke Cina. “Sa-mu-ta-la” merupakan ejaan orang Cina untuk Samudera Pasai. Adanya kerajaan Pasai ini diperkuat oleh catatan Marcopolo yang singgah di Sumatera pada 1292. Marcopolo menyatakan adanya masyarakat muslim di Perlak akhir abad ke-13 M.

Suma Oriental, kronik karya Tome Pires musafir Portugis (Portugal), mencatat cukup lengkap penyebaran Islam di Sumatera, Kalimantan, Jawa, sampai Maluku pada abad ke-16 M. Tome Pires pernah singgah di Malaka, Sumatera, dan Jawa. Ia meninggalkan Kepulauan Indonesia sekitar tahun 1515 M. Tome Pires menulis kronik lain yang berjudul Portugese Relacion. Selain, Marcopolo dan Tome Pires, ada pula sejumlah pelaut Eropa yang sempat singgah di Indonesia, di antaranya: Ferdinand Mendez Pinto dan De Couto (menulis Da Asia) dari Portugis yang ke Indonesia tidak lama setelah Tome Pires.

b. Sumber-sumber Lokal: Historiografi Tradisional

Berbeda dengan sumber-sumber luar negeri, sumber-sumber local kebanyakan berbentuk kesusastraan. Kitab-kitab yang memuat informasi sejarah tersebut banyak bentuknya. Di Melayu, Sumatera, Banten, dan Kalimantan, biasanya berbentuk hikayat. Sedangkan di Jawa, seperti di Banten, Cirebon, Demak, Mataram, biasanya berbentuk babad, kitab, sajarah, kidung, carita, atau serat. Meski demikian, baik kronik luar negeri maupun sumber lokal, keduanya sama-sama merupakan penulisan (historiografi) tradisional.

Bila kronik dari luar negeri ditulis oleh nama dan tahun yang jelas, para penulis lokal sering tak bernama. Sering sebuah karya dicatat oleh lebih dari satu orang. Kebanyakan kitab tesebut berbahasa Melayu dan Jawa dan beraksara Arab gundul atau Jawi. Selain tak tercantum nama penulis, kitab-kitab mereka acap kali tak mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun yang pasti. Malah bisa saja, sebuah kitab yang menceritakan, misalnya, abad ke-15, ditulis pada satu-dua abad berikutnya.

Oleh karena itu, peristiwaperistiwa yang tercantum dalam kitab itu banyak yang tidak faktual. Sering terjadi pula adanya perbedaan antara kitab satu dengan yang lain, seperti perbedaan waktu, nama raja, gelar, tempat, atau silsilah. Tujuan masing-masing penulis pun berbeda dengan tujuan para penulis luar negeri. Para penulis pribumi banyak yang tinggal di istana raja tertentu. Maka, mereka tentunya menulis untuk tujuan mengagung-agungkan raja mereka.

Di samping itu, isi dari kitab-kitab tersebut sering tak masuk akal. Para penulisnya banyak memasukkan kisah yang sebetulnya tak pernah terjadi. Banyak cerita legenda atau mitologi yang mengisi kitab-kitab tersebut. Meskipun demikian, ada beberapa peristiwa di dalamnya yang memang pernah terjadi secara historis.


0 komentar:

Post a Comment